Kamis, 28 November 2024

Bunga Wattle dari Tullamarine (Part Two)

 

kata kunci: Novel - Romanza - Wattle -Tullamarine








Bunga Wattle dari Tullamarine

PART TWO

David berhenti di depan selasar pemberangkatan, menurunkan koper-koper, diikuti para penumpang, lalu menuju tempat parkir bersama Agung, memarkir mobilnya.

Ruang Departure masih sepi. Rupanya Eda dan rombongan agak gasik datangnya. Antrean di depan meja check-in belum panjang. Di depan Eda, ada seorang bule, tinggi besar, hampir dua kali tinggi Eda yang mungil, membawa koper berukuran sedang.

Dengan ditemani Mas Agung, Eda berjalan menuju antrean, berdiri di belakang bule raksasa ini. Eda membawa satu koper besar, satu koper kecil, dan satu lagi box panjang berisi portable keyboard Yamaha, hadiah buat Mas Danu, kakaknya. Mas Agung menaikkan kedua koper Eda ke tempat menimbang yang ada di samping check-in desk. Angka menunjukkan 37 kg, melebihi batas berat maksimum yang diizinkan.

Eda memandang Mas Agung seolah meminta perlindungan, khawatir bakal kena denda, atau harus mengurangi sebagian isi kopernya. Digenggamnya lengan Mas Agung erat-erat. Ground stewardess laki-laki yang sedang melayani Eda tersenyum melihatnya, menebak apa yang sedang dipikirkan Eda. Wajahnya tampak ramah dan jenaka. Dia melongokkan badannya seolah mengukur tinggi badan Eda dan menebak beratnya, lalu melihat paspornya.

Hmm, Indonesia, ya? Aku pernah berkunjung ke Denpasar, Yogya, dan Bandung,” ucapnya dalam Bahasa Indonesia yang patah-patah diikuti dengan senyumnya yang ramah.

Eda tersenyum kecil. Pegangan ke lengan Mas Agung mulai mengendur.

Kota terakhir yang Anda sebutkan itu, kota tempat tinggalku,” balas Eda.

Bandung? Aku menginap di sana tiga malam, di rumah teman, di Geger Kalong,” lanjut petugas itu. Ucapan kalimat dengan huruf 'R' yang mengambang.

Kantorku juga berada di daerah Geger Kalong,” balas Eda, sambil menebarkan senyumnya. Senyum yang tulus, yang disukai banyak temannya.

Ooh, sebuah kebetulan, ya?” sambutnya. Senyumnya ramah. Eda ikut tersenyum.

Petugas check-in itu kemudian menyerahkan tiket dan paspor Eda.

Selamat jalan. Salam buat Jalan Braga,” candanya.

Thank you very much, Sir. Bahasa Indonesia Anda bagus sekali, pujinya. Eda tersenyum lega, lalu meninggalkan meja check-in, kembali menjumpai para pengantarnya.

Sambil jalan, Mas Agung mulai dengan candanya.

Kau tahu, Dik, mengapa kau tidak didenda?” tanyanya.

Nggak tahu, Mas. Barangkali karena dia kasihan, melihat Eda mulai mèwèk, mau nangis. Mungkin dia pikir, Eda nggak punya uang untuk bayar denda?” jawab Eda polos.

Bukan itu! Dia lihat, kau ini kecil banget dan enteng. Coba bandingkan dengan bule raksasa yang antre di depanmu. Dengan tinggi dan besar itu, mungkin 3 kali beratmu!” jelas Mas Agung, mengolok-olok Eda, sambil tertawa.

Aaah! Mas Agung nih, ada-ada saja!” Eda mencubit lengan kakak iparnya dengan keras sekali, karena ledekannya. Mas Agung meringis kesakitan.

Satu jam berlalu sudah. Tiba saatnya Eda harus berpisah. Di screen terlihat lampu boarding sudah menyala. Satu persatu disalaminya para senior yang telah mengantarnya. Tinggal Mas Agung dan Mbak Rini, menunggu giliran. Pandangan mereka tampak sedih. Mbak Rini mencium pipi Eda berkali-kali, lalu memeluknya erat sambil menangis. Eda berusaha menahan air matanya agar tidak bergulir, namun luruh juga. Dua kakak beradik ini bertangisan disaksikan Mas Agung dan teman-temannya.

Yu Rin, aku nyuwun pangestu. Doakan selamat dalam perjalanan dan bisa kembali bekerja dengan baik di tanah air nanti. Yu Rin, baik-baik ya? Jaga kondisi, jangan sampai kelelahan,” ucap Eda di sela-sela isaknya.

Rini tidak berkata-kata. Dielusnya punggung Eda, mengangguk, mengiyakan ucapan adiknya. Pelan-pelan dilepaskannya pelukan Mbak Rini, lalu berganti memeluk Mas Agung.

Mas Agung, aku takut hidup sendiri. Piyé aku, mengko, adoh soko Mas Agung dan Mbakyu?” Eda mengeluhkan ketakutan dan kekhawatirannya.

Ojo wedhi, Nduk. Cah Ayu. Kau anak pintar. Adik akan bisa beradaptasi dengan situasi. Mas Agung dan Mbak Rini akan selalu menemanimu dalam doa. Don't be afraid, Sweet Little Princess. Bukankah sebentar lagi kau akan bertemu dengan seseorang yang sudah lama kau nanti-nantikan saat berjumpa?” bisiknya.

Mas Agung menekankan kepala Eda ke dadanya, dan mengusap-usap rambutnya penuh haru. Diciumnya kening Eda, lalu dipegangnya kedua lengan Eda sambil menatapnya, meyakinkan Eda.

Sing teteg atimu. Ojo lali ngabari Mas Agung dan Mbakyumu, kalau sudah sampai. Selamat mewujudkan impianmu!” Mas Agung menutup ucapan perpisahannya, lalu mengantarkan Eda sampai di pintu masuk, diikuti David dan Pak Santo di belakangnya.

Safe journey, Da!” Dari arah belakang, Pak Santo berseru.

Dari balik ujung dinding menuju pintu masuk, Eda masih tengak-tengok ke arah teman-teman yang mengantarnya, seperti berat beranjak dari sana.

Sudah, Da, Tinggal berapa menit lagi. Nanti ditinggal pesawat, nggak jadi pulang. Aku gak berani menanggung risiko menyembunyikan imigran gelap kalau kau tertinggal!” tukas Pak Santo lagi diiringi tawanya.

David yang mengerti bahasa Indonesia, tersenyum mendengar celetukan Pak Santo. Sekali lagi, Eda memandang ke arah kakaknya. Mas Agung mengangguk, matanya mengisyaratkan Eda untuk cepat meninggalkan tempatnya menuju gate.

Dengan ditemani Mas Agung, Eda berjalan menuju antrean, berdiri di belakang bule raksasa ini. Eda membawa satu koper besar, satu koper kecil, dan satu lagi box panjang berisi portable keyboard Yamaha, hadiah buat Mas Danu, kakaknya. Mas Agung menaikkan kedua koper Eda ke tempat menimbang yang ada di samping check-in desk. Angka menunjukkan 37 kg, melebihi batas berat maksimum yang diizinkan.

Eda memandang Mas Agung seolah meminta perlindungan, khawatir bakal kena denda, atau harus mengurangi sebagian isi kopernya. Digenggamnya lengan Mas Agung erat-erat. Ground stewardess laki-laki yang sedang melayani Eda tersenyum melihatnya, menebak apa yang sedang dipikirkan Eda. Wajahnya tampak ramah dan jenaka. Dia melongokkan badannya seolah mengukur tinggi badan Eda dan menebak beratnya, lalu melihat paspornya.

Hmm, Indonesia, ya? Aku pernah berkunjung ke Denpasar, Yogya, dan Bandung,” ucapnya dalam Bahasa Indonesia yang patah-patah diikuti dengan senyumnya yang ramah.

Eda tersenyum kecil. Pegangan ke lengan Mas Agung mulai mengendur.

Kota terakhir yang Anda sebutkan itu, kota tempat tinggalku,” balas Eda.

Bandung? Aku menginap di sana tiga malam, di rumah teman, di Geger Kalong,” lanjut petugas itu. Ucapan kalimat dengan huruf 'R' yang mengambang.

Kantorku juga berada di daerah Geger Kalong,” balas Eda, sambil menebarkan senyumnya. Senyum yang tulus, yang disukai banyak temannya.

Ooh, sebuah kebetulan, ya?” sambutnya. Senyumnya ramah. Eda ikut tersenyum.

Petugas check-in itu kemudian menyerahkan tiket dan paspor Eda.

Selamat jalan. Salam buat Jalan Braga,” candanya.

Thank you very much, Sir. Bahasa Indonesia Anda bagus sekali, pujinya. Eda tersenyum lega, lalu meninggalkan meja check-in, kembali menjumpai para pengantarnya.

Sambil jalan, Mas Agung mulai dengan candanya.

Kau tahu, Dik, mengapa kau tidak didenda?” tanyanya.

Nggak tahu, Mas. Barangkali karena dia kasihan, melihat Eda mulai mèwèk, mau nangis. Mungkin dia pikir, Eda nggak punya uang untuk bayar denda?” jawab Eda polos.

Bukan itu! Dia lihat, kau ini kecil banget dan enteng. Coba bandingkan dengan bule raksasa yang antre di depanmu. Dengan tinggi dan besar itu, mungkin 3 kali beratmu!” jelas Mas Agung, mengolok-olok Eda, sambil tertawa.

Aaah! Mas Agung nih, ada-ada saja!” Eda mencubit lengan kakak iparnya dengan keras sekali, karena ledekannya. Mas Agung meringis kesakitan.

Satu jam berlalu sudah. Tiba saatnya Eda harus berpisah. Di screen terlihat lampu boarding sudah menyala. Satu persatu disalaminya para senior yang telah mengantarnya. Tinggal Mas Agung dan Mbak Rini, menunggu giliran. Pandangan mereka tampak sedih. Mbak Rini mencium pipi Eda berkali-kali, lalu memeluknya erat sambil menangis. Eda berusaha menahan air matanya agar tidak bergulir, namun luruh juga. Dua kakak beradik ini bertangisan disaksikan Mas Agung dan teman-temannya.

Yu Rin, aku nyuwun pangestu. Doakan selamat dalam perjalanan dan bisa kembali bekerja dengan baik di tanah air nanti. Yu Rin, baik-baik ya? Jaga kondisi, jangan sampai kelelahan,” ucap Eda di sela-sela isaknya.

Rini tidak berkata-kata. Dielusnya punggung Eda, mengangguk, mengiyakan ucapan adiknya. Pelan-pelan dilepaskannya pelukan Mbak Rini, lalu berganti memeluk Mas Agung.

Mas Agung, aku takut hidup sendiri. Piyé aku, mengko, adoh soko Mas Agung dan Mbakyu?” Eda mengeluhkan ketakutan dan kekhawatirannya.

Ojo wedhi, Nduk. Cah Ayu. Kau anak pintar. Adik akan bisa beradaptasi dengan situasi. Mas Agung dan Mbak Rini akan selalu menemanimu dalam doa. Don't be afraid, Sweet Little Princess. Bukankah sebentar lagi kau akan bertemu dengan seseorang yang sudah lama kau nanti-nantikan saat berjumpa?” bisiknya.

Mas Agung menekankan kepala Eda ke dadanya, dan mengusap-usap rambutnya penuh haru. Diciumnya kening Eda, lalu dipegangnya kedua lengan Eda sambil menatapnya, meyakinkan Eda.

Sing teteg atimu. Ojo lali ngabari Mas Agung dan Mbakyumu, kalau sudah sampai. Selamat mewujudkan impianmu!” Mas Agung menutup ucapan perpisahannya, lalu mengantarkan Eda sampai di pintu masuk, diikuti David dan Pak Santo di belakangnya.

Safe journey, Da!” seru Pak Santo dari arah belakang.

Dari balik ujung dinding menuju pintu masuk, Eda masih tengak-tengok ke arah teman-teman yang mengantarnya, seperti berat beranjak dari sana.

Sudah, Da, tinggal berapa menit lagi. Nanti ditinggal pesawat, nggak jadi pulang. Aku gak berani menanggung risiko menyembunyikan imigran gelap kalau kau tertinggal!” tukas Pak Santo lagi diiringi tawanya.

David yang mengerti bahasa Indonesia, tersenyum mendengar celetukan Pak Santo. Sekali lagi, Eda memandang ke arah kakaknya. Mas Agung mengangguk, matanya mengisyaratkan Eda untuk cepat meninggalkan tempatnya menuju gate.


Minggu, 24 November 2024

Dua buku dan novel baruku - Bunga Wattle dari Tullamarine

 

kata kunci: Novel - Romanza - Wattle -Tullamarine


Pengantar

Hello teman-teman, jumpa lagi. Saya baru saja menerbitkan satu buku solo, sebuah novel romanza, berjudulnya 'Bunga Wattle dari Tullamarine'. Ini sebenarnya naskah novel yang sudah lama saya tulis, tapi kemudian saya sunting dan revisi lagi.

Alhamdulillah, saya mulai bisa menulis lagi di sela-sela waktuku mendampingi dan merawat suami, setelah lama berhenti menulis, for several reasons. Sudah dua buku non fiksi yang berhasil saya selesaikan dan terbitkan tahun ini, 'Perform Your Best', dan 'Tasawuf Dalam Keseharian'.


  Perform Your Best

 Ini adalah buku motivasi saya yang pertama, bagus dibaca untuk para kawula muda yang sedang menempuh studi atau sedang meniti karir, memberi semangat untuk berjuang meraih impian dan cita-cita. Saya tulis bareng dengan penulis muda Andrian Permana. Buku ini adalah kumpulan quotes dengan tema-tema pendidikan, pentingnya belajar dan menuntut ilmu, dan bagaimana memelihara spirit untuk berjuang meraih impian dan sukses.

Saat ini saya sedang mengembangkan naskah buku motivasi dengan format dan gaya pembahasan yang berbeda dari buku motivasi pertama, tentang perjalanan menjadi orang sukses.



Tasawuf Dalam Keseharian

 Buku solo lain yang baru terbit adalah catatan kecil, bunga rampai dari berbagai ceramah agama yang saya hadiri secara luring dan daring. Tujuannya untuk memahami ajaran Islam dengan lebih baik, tentang hukum-hukum Syariah dan Fikih dalam persepektif ajaran Tasawuf. Saya tulis berdasarkan tema, misalnya hubungan antara iman dan ilmu; tentang dzikir dan doa, pemahaman tentang kaya dan miskin, hubungan rizki dan sedekah, hijrah dan hidayah, dan lain-lain, dalam kaitannya dengan ajaran Tasawuf.

Dengan doa dan harapan, saya bisa terus berkarya, menulis buku dengan berbagai gendre, serta mulai rajin, secara teratur menulis artikel di Blog untuk berbagi info yang bermanfaat.


Novel Bunga Wattle dari Tullamarine


Bunga Wattle dari Tullamarine

 Kata NH Dini, penulis senior di tahun 70-90-an yang berasal dari Semarang, 'Tidak ada cerita yang datang dari langit'. Maksudnya, tidak mungkin seseorang menulis (novel) yang 100% imajinasi, mengarang dari nol, dan tidak berdasarkan pengalaman sendiri, atau mengalami semua peristiwa, atau sebagian peristiwa yang ditulis dalam novelnya.

Mungkin yang dia maksud untuk novel-novel sejarah, romanza, detektif dan sejenisnya. Bukan buku fiksi seperti Harry Potter, novel-novel futuristik lainnya, yang sangat imajinatif? 



Bunga Wattle dari Tullamarine

 Saya sependapat dengan NH Dini. Kalau toh tidak semua 100% berdasarkan pengalaman sendiri, true story, paling tidak sebagian peristiwa itu pernah dialami penulis, atau berdasarkan obervasi, dan atau peristiwa nyata yang diamatinya.

Jadi, Anda bisa menebak bukan? Bahwa cerita dalam novel saya itu adalah kumpulan fragmen-fragmen peristiwa yang terjadi dan saya amati di sekitar saya, ditambah dengan pengalaman yang terjadi dalam perjalanan hidup saya. Kemudian, dengan imajinasi yang saya miliki, merangkainya menjadi sebuah cerita.

Saya tulis ketika berada di puncak frustrasi, ketika merasa kehilangan harapan untuk menyelesaikan studi yang menggantung tanpa kejelasan.

Dalam hati saya berbisik, “Ok, saya boleh gagal menyelesaikan studi, tapi saya harus bisa berhasil di bidang lain. Entah apa?”

Saya tidak tahu bagaimana bermula, tiba-tiba, tergerak untuk menulis dan menulis dan menulis setiap hari beberapa jam menjelang subuh. Dan akhirnya, voilá, jadilah novel ini.

Lalu, bagaimana dengan nasib kelanjutan studi saya? Nah, yang penasaran, bisa membaca buku novel ini sampai selesai.

Di bawah ini, saya tuliskan sinopsis pendeknya.

Eda kembali ke tanah air dari studinya dengan harapan besar, bertemu dan menikah dengan Pras, kekasihnya. Ternyata Pras tewas dalam kecelakaan pesawat. Semangat Eda runtuh, merasa cinta dan hidupnya telah berakhir.

Pertemuan tak terduga dengan dua anak bule di kantornya telah membangkitkan semangat Eda kembali. Persahabatan dengan dua anak ini telah menumbuhkan benih-benih cintanya kepada Alain, Papa mereka. Namun, Ayah Eda tidak merestui hubungan Eda dengan Alain. Bagaimana Eda berjuang untuk mewujudkan cintanya?

 Secara berkala, saya akan mengunggahnya beberapa chapter dari buku novel saya di Blog. Semoga Anda tertarik untuk merampungkan membaca seluruh kisahnya.  




















Novel Romanza - Bunga Wattle dari Tullamarine (Part One)

 

kata kunci: Novel - Romanza - Wattle -Tullamarine




Bunga Wattel dari Tullamarine

PART ONE

Selamat Jalan, Eda

Perjalanan menuju bandara Tullamarine kali ini terasa aneh. Sudah beberapa kali Eda mondar-mandir ke airport itu, mengantar teman-teman sesama postgrad student dari Indonesia pulang kembali ke tanah air. Atau, menjemput teman-teman yang baru datang di negeri kangguru ini. Rasa sedih yang menjalar di benaknya ini kali ini karena dia tidak mengantar siapa-siapa, melainkan dirinya sendiri. Studinya telah berakhir.

Di sebelahnya, duduk Mbak Rini sambil mendekap Edo, anaknya yang sudah 3 tahun umurnya. Entah kenapa, Mbak Rini lebih banyak diam. Mungkin, merasakan apa yang sekarang berkecamuk di hati adiknya. Kelopak matanya basah, mulai meneteskan air mata. Matanya masih tampak sembab.

Mobil station wagon warna silver yang mengantar Eda, penuh dengan penumpang di belakangnya. Eda duduk di kursi di belakang Mas Agung, kakak iparnya yang duduk di sebelah David yang mengemudi kendaraan.

Di jok belakang duduk berdesakan, Pak Santo, Indro, dan Bang Robert Purba. Pak Santo dan Indro juga ikut menjemput Eda ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Melbourne, the Garden City, kota yang sangat indah, memiliki taman di setiap blok jalan. Semuanya anggota tennis club di kampus yang diinisiasi oleh Pak Santo.

Bang Purba itu kakak kelas Eda di kampus, tinggal satu gedung apartemen dengan Mas Agung. Orang Batak yang ajaib, suaranya halus, tidak seperti Ucok, teman Batak seangkatan Eda yang suaranya menggelegar menandingi gemuruhnya air terjun di Danau Toba.

Rasanya seperti mimpi saja. Setelah dua tahun lebih meninggalkan negerinya, dia harus kembali ke tanah air. Seribu pertanyaan memenuhi kepalanya. Sudah banyak berubahkah wajah kota Bandung? Kota Kembang yang telah banyak memberinya kenangan. Kota yang telah menempanya menjadi seseorangn menjadi seseorang dewasa. Ada rasa khawatir dan rasa tidak aman pelan-pelan menjalar ke seluruh tubuhnya.

Apakah akan kutemui lingkungan yang seperti dulu lagi? Bergaul dengan teman-teman lama dan tetap ceria? Pertanyaan itu bergemuruh bersama dengan detak jantungnya.

Satu persatu, Eda mencoba mengingat teman-temannya. Kabar terakhir yang dia dengar, Ardie, sobatnya yang sama-sama aktif di Lab dan satu kantor, sudah bertambah sibuk, punya anak kembar. Beberapa teman mantan pengurus Himpunan, rame-rame kerja di Konsultan Rekayasa. Dunia property memang saat ini lagi booming.

Eda tersenyum, ingat kenangan kecil, betapa nakalnya dia waktu zaman kuliah. Boncengan bertiga dengan Bambang dan Guntur di atas vespa bututnya, dari tempat kos ke kampus. Mereka bertiga adalah aktivis Himpunan Mahasiswa di perioda itu. Bambang dan Guntur menjadi Sekretaris Umum dan Sekretaris 1. Eda menjadi Bendahara. Tiga orang seksi repot di Himpunan. Mereka sering berjalan bertiga ke mana-mana.

Ah, teman-teman sudah mencar ke mana-mana. Hampir semua hijrah ke Jakarta. Kota metropolitan ini memang punya daya tarik yang luar biasa. Sekitar 70% uang di negeri ini, berputar di Jakarta. Mereka ikut berebut untuk mendapatkan bagiannya.

Eda tersentak ketika mendengar suara Pak Santo dari jok belakang.

Hee, Eda! Sudah membayangkan pacarmu menunggu di Cengkareng, ya? Sang Pangeran dengan setangkai bunga mawar di tangan tidak sabar menyambutmu dengan harap-harap cemas,” celetuknya. Suaranya terdengar mulai dengan olokannya.

Jangan-jangan, Eda pulang kampung bukan karena instruksi dari bosnya. Dia yang sengaja minta dipulangkan. Mana tahan meninggalkan pangerannya terlalu lama. Bisa-bisa disambar orang,” timpal Bang Purba dengan suara lembutnya.

Awas lho, kalau gak undang kita di acara wedding nanti. Aku pecat kau, seumur-umur jadi adikku” sambung Pak Santo bercanda.

Indro yang duduk di dekat jendela, hanya diam saja. Selama ini dia merasa sebagai orang yang paling dekat dengan Eda. Dialah yang paling rajin membangunkan Eda tiap pagi dari flatnya, lewat deringan teleponnya. Sementara Pak Santo dan Bang Purba bersahutan mengolok-olok Eda, dan tidak memberi kesempatan untuk membela diri.

Semprul! Emangnya Eda sudah gak tahan hidup sendiri, gitu?” sahut Eda.

Mas Agung, bantuin Eda, dong?” seru Eda, sambil memukul bahu kanan kakak ipar yang duduk di sebelah sopir. Agung hanya senyum-senyum saja.

Alaa, jangan pura-pura begitu. Berani taruhan? Kurang dari 6 bulan, Eda pasti kirim kita undangan! Kalau belum ada yang melamarmu, Da, aku susul kau ke Indonesia. Biar aku yang melamarmu!” timpal Pak Santo.

Huuuu!” suara riuh rendah di dalam kendaraan, menyorakinya.

Ingat anak-bini, Bro! Ntar dirujak kau, sama Mbak Tuti!” seru Bang Purba.

Indro mendengar setengah kesal, tidak tahu harus ngomong apa. Dialah yang selalu protektif terhadap segala gangguan yang ditujukan kepada Eda. Dialah yang secara eksplisit paling merasa menjadi ‘kakak’ buat Eda, sehingga teman-teman yang masih single, takut mendekati Eda.

Teman-teman Mas Agung yang sudah senior memang suka menggoda Eda yang masih jomblo. Mereka semua sayang kepada Eda yang imut-imut. Badannya yang mungil dan wajahnya yang kadang naif, adalah sasaran empuk untuk jadi obyek candaan mereka.

Rada sedih, juga, ya, meninggalkan kakak-kakak yang lucu dan penuh perhatian,” ucap Eda lirih. Namun, ada seseorang yang sangat dia rindukan di Indonesia, Mas Pras. Jadi, sedihnya tidak akan berkepanjangan.

Ada yang patah hati lho, kau tinggal pulang ke Indonesia!” Bang Purba mulai dengan candanya, tipis-tipis, sambil melirik ke arah Indro di sampingnya.

Ya, meski langit tampak dekat, tapi hatimu terasa jauh, tak iyo?” timpal Pak Santo.

Dan ledakan tawa pun bergema kembali di dalam mobil, mengguncang kendaraan yang terus melaju kencang di motor way menuju bandara.

Eda hanya tersenyum-senyum simpul. Sudah sering mendengar ledekan para senior ini, yang mencoba menjodohkannya dengan Indro. Candaan dari para senior ini yang bikin Eda kangen ketemu mereka di lapangan tenis tiap Minggu. Hiburan pelipur lara.

Pohon-pohon Wattle di tepi jalan bergoyang pelan seolah melambaikan tangannya, mengucap selamat jalan buat Eda. Pucuk-pucuk rantingnya mulai ditumbuhi dengan bunga-bunga kuning keemasan, menyambut musim semi yang baru mulai.

Dulu, Eda sering mendengar kuliah pendek dari Pak Santo, sarjana Teknik Kehutanan dari IPB, dalam perjalanan dari dan ke Tullamarine, mengantar dan menjemput teman-teman dari Indonesia. Kini, untuk terakhir kali, Eda memandang pohon-pohon yang begitu karib itu. Mereka tampak membisu, seolah tahu, bakal ditinggal Eda. Entahlah, kapan mereka akan kembali berjumpa?

Selamat tinggal Wattle-ku. Kalian telah ikut mengukir kenangan manis di negeri kanguru yang telah menjadi negeri kedua bagiku. Kalian akan mengingatkanku kepada persahabatan, persaudaraan yang tulus dari teman-teman seperjuangan dalam merampungkan studi,” desah Eda, menggigit bibirnya, sambil mengusap titik-titik air mata yang mulai membasahi pipinya.

Tidak terasa, kendaraan yang dikemudikan David telah memasuki gerbang Tullamarine. Eda menarik napas panjang.

Waktu terus berjalan. Pasti, tidak akan berhenti. Sebentar lagi, tidak akan kudengar guyon-guyon meriah seperti tadi.





Bunga Wattle dari Tullamarine (Part Two)

  kata kunci : Novel - Romanza - Wattle -Tullamarine Bunga Wattle dari Tullamarine PART TWO David berhenti di depan selasar pemberangkata...