Bunga Wattle dari Tullamarine
PART TWO
David berhenti di depan selasar pemberangkatan, menurunkan koper-koper, diikuti para penumpang, lalu menuju tempat parkir bersama Agung, memarkir mobilnya.
Ruang Departure masih sepi. Rupanya Eda dan rombongan agak gasik datangnya. Antrean di depan meja check-in belum panjang. Di depan Eda, ada seorang bule, tinggi besar, hampir dua kali tinggi Eda yang mungil, membawa koper berukuran sedang.
Dengan ditemani Mas Agung, Eda berjalan menuju antrean, berdiri di belakang bule raksasa ini. Eda membawa satu koper besar, satu koper kecil, dan satu lagi box panjang berisi portable keyboard Yamaha, hadiah buat Mas Danu, kakaknya. Mas Agung menaikkan kedua koper Eda ke tempat menimbang yang ada di samping check-in desk. Angka menunjukkan 37 kg, melebihi batas berat maksimum yang diizinkan.
Eda memandang Mas Agung seolah meminta perlindungan, khawatir bakal kena denda, atau harus mengurangi sebagian isi kopernya. Digenggamnya lengan Mas Agung erat-erat. Ground stewardess laki-laki yang sedang melayani Eda tersenyum melihatnya, menebak apa yang sedang dipikirkan Eda. Wajahnya tampak ramah dan jenaka. Dia melongokkan badannya seolah mengukur tinggi badan Eda dan menebak beratnya, lalu melihat paspornya.
“Hmm, Indonesia, ya? Aku pernah berkunjung ke Denpasar, Yogya, dan Bandung,” ucapnya dalam Bahasa Indonesia yang patah-patah diikuti dengan senyumnya yang ramah.
Eda tersenyum kecil. Pegangan ke lengan Mas Agung mulai mengendur.
“Kota terakhir yang Anda sebutkan itu, kota tempat tinggalku,” balas Eda.
“Bandung? Aku menginap di sana tiga malam, di rumah teman, di Geger Kalong,” lanjut petugas itu. Ucapan kalimat dengan huruf 'R' yang mengambang.
“Kantorku juga berada di daerah Geger Kalong,” balas Eda, sambil menebarkan senyumnya. Senyum yang tulus, yang disukai banyak temannya.
“Ooh, sebuah kebetulan, ya?” sambutnya. Senyumnya ramah. Eda ikut tersenyum.
Petugas check-in itu kemudian menyerahkan tiket dan paspor Eda.
“Selamat jalan. Salam buat Jalan Braga,” candanya.
“Thank you very much, Sir. Bahasa Indonesia Anda bagus sekali,” pujinya. Eda tersenyum lega, lalu meninggalkan meja check-in, kembali menjumpai para pengantarnya.
Sambil jalan, Mas Agung mulai dengan candanya.
“Kau tahu, Dik, mengapa kau tidak didenda?” tanyanya.
“Nggak tahu, Mas. Barangkali karena dia kasihan, melihat Eda mulai mèwèk, mau nangis. Mungkin dia pikir, Eda nggak punya uang untuk bayar denda?” jawab Eda polos.
“Bukan itu! Dia lihat, kau ini kecil banget dan enteng. Coba bandingkan dengan bule raksasa yang antre di depanmu. Dengan tinggi dan besar itu, mungkin 3 kali beratmu!” jelas Mas Agung, mengolok-olok Eda, sambil tertawa.
“Aaah! Mas Agung nih, ada-ada saja!” Eda mencubit lengan kakak iparnya dengan keras sekali, karena ledekannya. Mas Agung meringis kesakitan.
Satu jam berlalu sudah. Tiba saatnya Eda harus berpisah. Di screen terlihat lampu boarding sudah menyala. Satu persatu disalaminya para senior yang telah mengantarnya. Tinggal Mas Agung dan Mbak Rini, menunggu giliran. Pandangan mereka tampak sedih. Mbak Rini mencium pipi Eda berkali-kali, lalu memeluknya erat sambil menangis. Eda berusaha menahan air matanya agar tidak bergulir, namun luruh juga. Dua kakak beradik ini bertangisan disaksikan Mas Agung dan teman-temannya.
“Yu Rin, aku nyuwun pangestu. Doakan selamat dalam perjalanan dan bisa kembali bekerja dengan baik di tanah air nanti. Yu Rin, baik-baik ya? Jaga kondisi, jangan sampai kelelahan,” ucap Eda di sela-sela isaknya.
Rini tidak berkata-kata. Dielusnya punggung Eda, mengangguk, mengiyakan ucapan adiknya. Pelan-pelan dilepaskannya pelukan Mbak Rini, lalu berganti memeluk Mas Agung.
“Mas Agung, aku takut hidup sendiri. Piyé aku, mengko, adoh soko Mas Agung dan Mbakyu?” Eda mengeluhkan ketakutan dan kekhawatirannya.
“Ojo wedhi, Nduk. Cah Ayu. Kau anak pintar. Adik akan bisa beradaptasi dengan situasi. Mas Agung dan Mbak Rini akan selalu menemanimu dalam doa. Don't be afraid, Sweet Little Princess. Bukankah sebentar lagi kau akan bertemu dengan seseorang yang sudah lama kau nanti-nantikan saat berjumpa?” bisiknya.
Mas Agung menekankan kepala Eda ke dadanya, dan mengusap-usap rambutnya penuh haru. Diciumnya kening Eda, lalu dipegangnya kedua lengan Eda sambil menatapnya, meyakinkan Eda.
“Sing teteg atimu. Ojo lali ngabari Mas Agung dan Mbakyumu, kalau sudah sampai. Selamat mewujudkan impianmu!” Mas Agung menutup ucapan perpisahannya, lalu mengantarkan Eda sampai di pintu masuk, diikuti David dan Pak Santo di belakangnya.
“Safe journey, Da!” Dari arah belakang, Pak Santo berseru.
Dari balik ujung dinding menuju pintu masuk, Eda masih tengak-tengok ke arah teman-teman yang mengantarnya, seperti berat beranjak dari sana.
“Sudah, Da, Tinggal berapa menit lagi. Nanti ditinggal pesawat, nggak jadi pulang. Aku gak berani menanggung risiko menyembunyikan imigran gelap kalau kau tertinggal!” tukas Pak Santo lagi diiringi tawanya.
David yang mengerti bahasa Indonesia, tersenyum mendengar celetukan Pak Santo. Sekali lagi, Eda memandang ke arah kakaknya. Mas Agung mengangguk, matanya mengisyaratkan Eda untuk cepat meninggalkan tempatnya menuju gate.
Dengan ditemani Mas Agung, Eda berjalan menuju antrean, berdiri di belakang bule raksasa ini. Eda membawa satu koper besar, satu koper kecil, dan satu lagi box panjang berisi portable keyboard Yamaha, hadiah buat Mas Danu, kakaknya. Mas Agung menaikkan kedua koper Eda ke tempat menimbang yang ada di samping check-in desk. Angka menunjukkan 37 kg, melebihi batas berat maksimum yang diizinkan.
Eda memandang Mas Agung seolah meminta perlindungan, khawatir bakal kena denda, atau harus mengurangi sebagian isi kopernya. Digenggamnya lengan Mas Agung erat-erat. Ground stewardess laki-laki yang sedang melayani Eda tersenyum melihatnya, menebak apa yang sedang dipikirkan Eda. Wajahnya tampak ramah dan jenaka. Dia melongokkan badannya seolah mengukur tinggi badan Eda dan menebak beratnya, lalu melihat paspornya.
“Hmm, Indonesia, ya? Aku pernah berkunjung ke Denpasar, Yogya, dan Bandung,” ucapnya dalam Bahasa Indonesia yang patah-patah diikuti dengan senyumnya yang ramah.
Eda tersenyum kecil. Pegangan ke lengan Mas Agung mulai mengendur.
“Kota terakhir yang Anda sebutkan itu, kota tempat tinggalku,” balas Eda.
“Bandung? Aku menginap di sana tiga malam, di rumah teman, di Geger Kalong,” lanjut petugas itu. Ucapan kalimat dengan huruf 'R' yang mengambang.
“Kantorku juga berada di daerah Geger Kalong,” balas Eda, sambil menebarkan senyumnya. Senyum yang tulus, yang disukai banyak temannya.
“Ooh, sebuah kebetulan, ya?” sambutnya. Senyumnya ramah. Eda ikut tersenyum.
Petugas check-in itu kemudian menyerahkan tiket dan paspor Eda.
“Selamat jalan. Salam buat Jalan Braga,” candanya.
“Thank you very much, Sir. Bahasa Indonesia Anda bagus sekali,” pujinya. Eda tersenyum lega, lalu meninggalkan meja check-in, kembali menjumpai para pengantarnya.
Sambil jalan, Mas Agung mulai dengan candanya.
“Kau tahu, Dik, mengapa kau tidak didenda?” tanyanya.
“Nggak tahu, Mas. Barangkali karena dia kasihan, melihat Eda mulai mèwèk, mau nangis. Mungkin dia pikir, Eda nggak punya uang untuk bayar denda?” jawab Eda polos.
“Bukan itu! Dia lihat, kau ini kecil banget dan enteng. Coba bandingkan dengan bule raksasa yang antre di depanmu. Dengan tinggi dan besar itu, mungkin 3 kali beratmu!” jelas Mas Agung, mengolok-olok Eda, sambil tertawa.
“Aaah! Mas Agung nih, ada-ada saja!” Eda mencubit lengan kakak iparnya dengan keras sekali, karena ledekannya. Mas Agung meringis kesakitan.
Satu jam berlalu sudah. Tiba saatnya Eda harus berpisah. Di screen terlihat lampu boarding sudah menyala. Satu persatu disalaminya para senior yang telah mengantarnya. Tinggal Mas Agung dan Mbak Rini, menunggu giliran. Pandangan mereka tampak sedih. Mbak Rini mencium pipi Eda berkali-kali, lalu memeluknya erat sambil menangis. Eda berusaha menahan air matanya agar tidak bergulir, namun luruh juga. Dua kakak beradik ini bertangisan disaksikan Mas Agung dan teman-temannya.
“Yu Rin, aku nyuwun pangestu. Doakan selamat dalam perjalanan dan bisa kembali bekerja dengan baik di tanah air nanti. Yu Rin, baik-baik ya? Jaga kondisi, jangan sampai kelelahan,” ucap Eda di sela-sela isaknya.
Rini tidak berkata-kata. Dielusnya punggung Eda, mengangguk, mengiyakan ucapan adiknya. Pelan-pelan dilepaskannya pelukan Mbak Rini, lalu berganti memeluk Mas Agung.
“Mas Agung, aku takut hidup sendiri. Piyé aku, mengko, adoh soko Mas Agung dan Mbakyu?” Eda mengeluhkan ketakutan dan kekhawatirannya.
“Ojo wedhi, Nduk. Cah Ayu. Kau anak pintar. Adik akan bisa beradaptasi dengan situasi. Mas Agung dan Mbak Rini akan selalu menemanimu dalam doa. Don't be afraid, Sweet Little Princess. Bukankah sebentar lagi kau akan bertemu dengan seseorang yang sudah lama kau nanti-nantikan saat berjumpa?” bisiknya.
Mas Agung menekankan kepala Eda ke dadanya, dan mengusap-usap rambutnya penuh haru. Diciumnya kening Eda, lalu dipegangnya kedua lengan Eda sambil menatapnya, meyakinkan Eda.
“Sing teteg atimu. Ojo lali ngabari Mas Agung dan Mbakyumu, kalau sudah sampai. Selamat mewujudkan impianmu!” Mas Agung menutup ucapan perpisahannya, lalu mengantarkan Eda sampai di pintu masuk, diikuti David dan Pak Santo di belakangnya.
“Safe journey, Da!” seru Pak Santo dari arah belakang.
Dari balik ujung dinding menuju pintu masuk, Eda masih tengak-tengok ke arah teman-teman yang mengantarnya, seperti berat beranjak dari sana.
“Sudah, Da, tinggal berapa menit lagi. Nanti ditinggal pesawat, nggak jadi pulang. Aku gak berani menanggung risiko menyembunyikan imigran gelap kalau kau tertinggal!” tukas Pak Santo lagi diiringi tawanya.
David yang mengerti bahasa Indonesia, tersenyum mendengar celetukan Pak Santo. Sekali lagi, Eda memandang ke arah kakaknya. Mas Agung mengangguk, matanya mengisyaratkan Eda untuk cepat meninggalkan tempatnya menuju gate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar