kata kunci: Novel - Romanza - Wattle -Tullamarine
Bunga Wattel dari Tullamarine
PART ONE
Selamat Jalan, Eda
Perjalanan menuju bandara Tullamarine kali ini terasa aneh. Sudah beberapa kali Eda mondar-mandir ke airport itu, mengantar teman-teman sesama postgrad student dari Indonesia pulang kembali ke tanah air. Atau, menjemput teman-teman yang baru datang di negeri kangguru ini. Rasa sedih yang menjalar di benaknya ini kali ini karena dia tidak mengantar siapa-siapa, melainkan dirinya sendiri. Studinya telah berakhir.
Di sebelahnya, duduk Mbak Rini sambil mendekap Edo, anaknya yang sudah 3 tahun umurnya. Entah kenapa, Mbak Rini lebih banyak diam. Mungkin, merasakan apa yang sekarang berkecamuk di hati adiknya. Kelopak matanya basah, mulai meneteskan air mata. Matanya masih tampak sembab.
Mobil station wagon warna silver yang mengantar Eda, penuh dengan penumpang di belakangnya. Eda duduk di kursi di belakang Mas Agung, kakak iparnya yang duduk di sebelah David yang mengemudi kendaraan.
Di jok belakang duduk berdesakan, Pak Santo, Indro, dan Bang Robert Purba. Pak Santo dan Indro juga ikut menjemput Eda ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Melbourne, the Garden City, kota yang sangat indah, memiliki taman di setiap blok jalan. Semuanya anggota tennis club di kampus yang diinisiasi oleh Pak Santo.
Bang Purba itu kakak kelas Eda di kampus, tinggal satu gedung apartemen dengan Mas Agung. Orang Batak yang ajaib, suaranya halus, tidak seperti Ucok, teman Batak seangkatan Eda yang suaranya menggelegar menandingi gemuruhnya air terjun di Danau Toba.
Rasanya seperti mimpi saja. Setelah dua tahun lebih meninggalkan negerinya, dia harus kembali ke tanah air. Seribu pertanyaan memenuhi kepalanya. Sudah banyak berubahkah wajah kota Bandung? Kota Kembang yang telah banyak memberinya kenangan. Kota yang telah menempanya menjadi seseorangn menjadi seseorang dewasa. Ada rasa khawatir dan rasa tidak aman pelan-pelan menjalar ke seluruh tubuhnya.
Apakah akan kutemui lingkungan yang seperti dulu lagi? Bergaul dengan teman-teman lama dan tetap ceria? Pertanyaan itu bergemuruh bersama dengan detak jantungnya.
Satu persatu, Eda mencoba mengingat teman-temannya. Kabar terakhir yang dia dengar, Ardie, sobatnya yang sama-sama aktif di Lab dan satu kantor, sudah bertambah sibuk, punya anak kembar. Beberapa teman mantan pengurus Himpunan, rame-rame kerja di Konsultan Rekayasa. Dunia property memang saat ini lagi booming.
Eda tersenyum, ingat kenangan kecil, betapa nakalnya dia waktu zaman kuliah. Boncengan bertiga dengan Bambang dan Guntur di atas vespa bututnya, dari tempat kos ke kampus. Mereka bertiga adalah aktivis Himpunan Mahasiswa di perioda itu. Bambang dan Guntur menjadi Sekretaris Umum dan Sekretaris 1. Eda menjadi Bendahara. Tiga orang seksi repot di Himpunan. Mereka sering berjalan bertiga ke mana-mana.
Ah, teman-teman sudah mencar ke mana-mana. Hampir semua hijrah ke Jakarta. Kota metropolitan ini memang punya daya tarik yang luar biasa. Sekitar 70% uang di negeri ini, berputar di Jakarta. Mereka ikut berebut untuk mendapatkan bagiannya.
Eda tersentak ketika mendengar suara Pak Santo dari jok belakang.
“Hee, Eda! Sudah membayangkan pacarmu menunggu di Cengkareng, ya? Sang Pangeran dengan setangkai bunga mawar di tangan tidak sabar menyambutmu dengan harap-harap cemas,” celetuknya. Suaranya terdengar mulai dengan olokannya.
“Jangan-jangan, Eda pulang kampung bukan karena instruksi dari bosnya. Dia yang sengaja minta dipulangkan. Mana tahan meninggalkan pangerannya terlalu lama. Bisa-bisa disambar orang,” timpal Bang Purba dengan suara lembutnya.
“Awas lho, kalau gak undang kita di acara wedding nanti. Aku pecat kau, seumur-umur jadi adikku” sambung Pak Santo bercanda.
Indro yang duduk di dekat jendela, hanya diam saja. Selama ini dia merasa sebagai orang yang paling dekat dengan Eda. Dialah yang paling rajin membangunkan Eda tiap pagi dari flatnya, lewat deringan teleponnya. Sementara Pak Santo dan Bang Purba bersahutan mengolok-olok Eda, dan tidak memberi kesempatan untuk membela diri.
“Semprul! Emangnya Eda sudah gak tahan hidup sendiri, gitu?” sahut Eda.
“Mas Agung, bantuin Eda, dong?” seru Eda, sambil memukul bahu kanan kakak ipar yang duduk di sebelah sopir. Agung hanya senyum-senyum saja.
“Alaa, jangan pura-pura begitu. Berani taruhan? Kurang dari 6 bulan, Eda pasti kirim kita undangan! Kalau belum ada yang melamarmu, Da, aku susul kau ke Indonesia. Biar aku yang melamarmu!” timpal Pak Santo.
“Huuuu!” suara riuh rendah di dalam kendaraan, menyorakinya.
“Ingat anak-bini, Bro! Ntar dirujak kau, sama Mbak Tuti!” seru Bang Purba.
Indro mendengar setengah kesal, tidak tahu harus ngomong apa. Dialah yang selalu protektif terhadap segala gangguan yang ditujukan kepada Eda. Dialah yang secara eksplisit paling merasa menjadi ‘kakak’ buat Eda, sehingga teman-teman yang masih single, takut mendekati Eda.
Teman-teman Mas Agung yang sudah senior memang suka menggoda Eda yang masih jomblo. Mereka semua sayang kepada Eda yang imut-imut. Badannya yang mungil dan wajahnya yang kadang naif, adalah sasaran empuk untuk jadi obyek candaan mereka.
“Rada sedih, juga, ya, meninggalkan kakak-kakak yang lucu dan penuh perhatian,” ucap Eda lirih. Namun, ada seseorang yang sangat dia rindukan di Indonesia, Mas Pras. Jadi, sedihnya tidak akan berkepanjangan.
“Ada yang patah hati lho, kau tinggal pulang ke Indonesia!” Bang Purba mulai dengan candanya, tipis-tipis, sambil melirik ke arah Indro di sampingnya.
“Ya, meski langit tampak dekat, tapi hatimu terasa jauh, tak iyo?” timpal Pak Santo.
Dan ledakan tawa pun bergema kembali di dalam mobil, mengguncang kendaraan yang terus melaju kencang di motor way menuju bandara.
Eda hanya tersenyum-senyum simpul. Sudah sering mendengar ledekan para senior ini, yang mencoba menjodohkannya dengan Indro. Candaan dari para senior ini yang bikin Eda kangen ketemu mereka di lapangan tenis tiap Minggu. Hiburan pelipur lara.
Pohon-pohon Wattle di tepi jalan bergoyang pelan seolah melambaikan tangannya, mengucap selamat jalan buat Eda. Pucuk-pucuk rantingnya mulai ditumbuhi dengan bunga-bunga kuning keemasan, menyambut musim semi yang baru mulai.
Dulu, Eda sering mendengar kuliah pendek dari Pak Santo, sarjana Teknik Kehutanan dari IPB, dalam perjalanan dari dan ke Tullamarine, mengantar dan menjemput teman-teman dari Indonesia. Kini, untuk terakhir kali, Eda memandang pohon-pohon yang begitu karib itu. Mereka tampak membisu, seolah tahu, bakal ditinggal Eda. Entahlah, kapan mereka akan kembali berjumpa?
“Selamat tinggal Wattle-ku. Kalian telah ikut mengukir kenangan manis di negeri kanguru yang telah menjadi negeri kedua bagiku. Kalian akan mengingatkanku kepada persahabatan, persaudaraan yang tulus dari teman-teman seperjuangan dalam merampungkan studi,” desah Eda, menggigit bibirnya, sambil mengusap titik-titik air mata yang mulai membasahi pipinya.
Tidak terasa, kendaraan yang dikemudikan David telah memasuki gerbang Tullamarine. Eda menarik napas panjang.
Waktu terus berjalan. Pasti, tidak akan berhenti. Sebentar lagi, tidak akan kudengar guyon-guyon meriah seperti tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar