Kata kunci: Pelayanan - BRT Trans Semarang –
Semarang - nyaman
Pendahuluan
“Kehadiran Bus
Rapid Transit (BRT) Trans Semarang menjadi jawaban Pemerintah Kota
Semarang dalam menyediakan layanan transportasi umum yang murah dan nyaman”
(Jatengprov.go.id.)
Secara berkala saya selalu menjemput
Adik di halte BRT yang ada di dekat alun-alun kota Ungaran, dan mengantarnya
pulang ke Terminal Sisemut Ungaran Semarang.
Ternyata saya harus melakukan perjalanan
Ungaran-Semarang dengan naik BRT gara-gara mobil saya masuk bengkel, dan telat
beberapa hari selesai perbaikannya, padahal saya harus bertemu dengan senior
Topung (Totok Pungung) di salah satu kampus tempat dia mengajar.
Sesuai dengan petunjuk Adik, saya
harus naik dari Terminal Sisemut Ungaran, supaya dapat tempat duduk. Tambahnya,
saya memilih duduk di kursi belakang yang menghadap ke arah jalan karena akan
turun di Semarang di halte Balaikota Semarang. Dari situ, harus ganti dengan BRT yang ke arah Gunung Pati.
BRT Jateng ini terdiri dari 8
koridor, atau rute. Saya harus naik BRT Koridor II yaitu rute
Terboyo-Balaikota-Banyumanik-Sisemut Ungaran. Koridor II ini memberikan
pelayanan mulai dari 05.30-17.45. Di platform, ada petugas yang melayani penjualan
tiket. Saya kaget, ternyata harga tiket ke Semarang hanya Rp.4000. Sangat
terjangkau untuk para pensiunan, siswa, dan orang-orang PEGEL (pengusaha
golongan ekonomi lemah).
Kondisi Kendaraan BRT
Kurang dari 5 menit, satu bus yang
berjajar di belakang halte bergerak menuju platfrom, mengatur posisi pintu
tengahnya pas di depan pintu platform tempat para penumpang sudah siap-siap
antre masuk bus.
Ternyata bus tidak merapat dengan
platform, ada gap sekitar 30 cm menganga antara platfrom dengan pintu tengah
bus. Tentu saja saya agak khawatir untuk melangkah masuk. Apalagi saya membawa
koper kecil. Ternyata, dengan sigap petugas bus memegang tangan saya, dan
membantu melompat dari platfrom ke dalam bus, dan mengambil koper saya dari
platform. Cukup menegangkan.
Dari tempat duduk, saya bisa
mengamati lalu lintas penumpang naik turun tanpa terganggu. Ada sekitar 25
tempat duduk. Dari pintu tengah, ke arah belakang untuk penumpang perempuan, ke
arah depan untuk penumpang laki-laki.
Pemandangan di dalam BRT
Kursi diatur berhadapan, kecuali
satu deret di belakang yang menghadap ke depan. Ada serangkaian gantungan untuk
pegangan bagi penumpang yang berdiri. Tempat duduknya nyaman, empuk dan tidak
berdesakan. Kursi untuk penumpang wanita lebih banyak dari kursi untuk
penumpang laki-laki. Memang dari pengamatan, penumpang wanita lebih banyak dari
laki-laki. Ruangan bus ber AC, cukup sejuk. Syukurlah saya pakai jaket, jadi
tidak begitu kedinginan.
Di dalam bus juga ada screen yang memanjang, memuat tulisan
satu baris yang bergerak dari kiri ke kanan, memuat infomasi yang bermanfaat.
Misalnya, ada petunjuk waktu, jadi kita bisa mengetahui sudah berapa lama
perjalanan berlangsung.
Bagian Depan Kursi Penumpang
BRT melaju dengan kecepatan sedang.
Sekali-sekali kondektur meneriakkan nama halte berikutnya, juga halte tempat
penumpang harus turun untuk transit, melanjutkan perjalanan berikutnya dengan
bus lainnya. Saya harus berhenti di halte Balaikota, dan ganti bus yang menuju
Gunungpati. Kadang kondektur harus membuka pintu belakang atau depan, kalau
platform haltenya rendah.
Di dalam bus kita juga bisa
mendengar musik. Penumpang muda berjilbab yang duduk di ujung deretan saya,
ikut melantunkan nyanyian yang terdengar.
Pasti lagu yang lagi hit saat ini, bukan lagu-lagu di zaman saya. Jadi
saya tidak tahu.
Pintu Belakang
Pelayanan Dalam BRT
Untuk halte yang tidak ada pos
penjualan tiket, penumpang bisa membelinya di dalam bus. Jadi kondektur juga
membawa tas kecil dan mesin untuk mencetak tiket. Mas Kondekturnya lumayan
ramah. Kalau ada lansia masuk, dia akan berteriak, “Yang muda bisa kasih tempat
duduknya kepada orang tua.”
Dan kita akan melihat, seorang siswa
yang tadinya duduk di kursi, dia bangkit dan memberikan tempatnya untuk
penumpang sepuh yang baru saja masuk.
Ketika pulang dari pertemuan dengan
senior Topung di kampus, saya nyegat
bus di depan kampus. Kira-kira menungu 10 menit, ada bus kecil, mendekat, bukan
bus dengan kapasitas 25 penumpang. Feeder ini semacam microlet, dengan
kapasitas 15 penumpang. Waktu itu lagi sepi, jadi saya langsung duduk di
deretan depan, satu kursi di belakang sopir.
Petugas tiket itu mendekati saya,
duduk di sebelah kursi, bertanya, “Berapa usia Ibu?”
Mungkin karena saya memakai masker,
jadi dia tidak bisa menebak usia saya.
Saya sebutkan umur, dan dia
menjawab,”Kalau begitu Ibu hanya membayar Rp.1000.”
Tentu saja saya kaget, “Murah
sekali?”
“Ya, Bu, juga untuk murid-murid,
para pelajar,” jelasnya.
Pegawa
itu berseragam kaos hitam lengan pendek. Ketika ganti bus di halte Elisabeth,
saya naik BRT yang berukuran sedang. Kondekturnya memakai kemeja batik dan
celana hitam.
Desain Platform Di Terminal
Desain halte di seluruh
pemberhentian BRT, umumnya serupa. Sebuah platform setinggi sekitar satu meter.
Di kiri kanan ada tangga dan ram, atau tangga saja, atau ram saja. Mungkin ada
pertimbangan tertentu, kenapa tidak sama semuanya. Ada satu pemberhentian di
dekat Pasar Bandarjo Ungaran, tidak ada platform setinggi satu meter. Melainkan
hanya ada tangga besi seperti tangga naik kereta di stasiun. Jadi penumpang
antre naik tangga untuk masuk ke dalam bus.Untuk orang tua, tentu tidak nyaman.
Di dekat sekolah atau kampus, halte
tidak tinggi, berupa platform rendah, dan ada kursi memanjang.
Halte BRT Ungaran Alun-alun
Wawancara Dengan Pengguna Jasa BRT
Saya tinggal di desa, berteman
dengan pembuat kue, Ibu Umi. Kadang, dia harus belanja di Semarang untuk
membeli bahan-bahan roti yang tidak dia peroleh di Ungaran, atau perbedan
harganya jauh. Ternyata dia sering ke Semarang naik BRT.
“Lumayan menghemat, Bu,” jelasnya.
“Saya biasanya bawa motor ke terminal Sisemut, parkir di sana, terus naik BRT
sampai Pasar Johar.”
“Tapi tidak boleh membawa makanan
yang bahunya menyengat, seperti ikan asin, duren, dll,” lanjutnya.
Ibu Dyah adalah seorang pensiunan
guru, tinggal di Ungaran. Dia sering diajak suaminya naik BRT, dari ujung ke
ujung. Misalnya dari Ungaran ke Pedurungan, atau ke tempat makan favorit mereka
yang ada di Semarang, yang bisa dilewati BRT. Mereka turun, jalan-jalan di sekitar,
kemudian makan siang di salah satu warung makan favorit. Terus balik lagi ke
Ungaran.
Ceritanya ini jadi mengingatkan saya
ketika tinggal di UK. Secara berkala, saya diajak suami naik bus tingkat dari
Lancaster ke kota kecil di sekitarnya, di daerah wisata Lake District. Di sana
kami jalan-jalan di tepi danau, lalu makan siang di salah satu café yang ada,
terus balik lagi. Dia selalu mengajak saya duduk di lantai atas bus, di deretan
kursi paling depan, supaya bisa menikmati keindahan countryside dari dalam bus.
Di UK, untuk senior citizen, kita dapat diskon untuk naik bus pemerintah.
Bahkan, di dalam kota, para pensiunan tidak membayar tiket, GRATIS, dengan
menujukkan kartu yang kita bisa apply
online. Tapi, ini hanya berlaku untuk jadwal pemberangkatan setetelah jam
9.30. Bagi Pelajar, ada diskon untuk harga tiket. Bisa dibeli harian, mingguan,
atau bulanan. Tentu harus menunjukan buspass
mereka. Perbedaan lain, petugasnya hanya satu orang, sopir merangkap kondektur.
Jadi, semua penumpang keluar dan masuk dari pintu depan.
BRT Bisa Mengurangi Kemiskinan?
Disebutkan dalam suatu artikel,
tujuan pelayanan BRT antara lain untuk memberi pelayanan murah dan nyaman, dan
mengurangi kemiskinan.
Mengurangi kemiskinan? Betulkah?
Mungkin tidak secara langsung. Dengan harga tiket murah dan terjangkau,
penumpang yang berpendapatan rendah bisa bepergian dengan menggunakan BRT, yang
murah dan nyaman. Dengan demikian, mereka bisa mengurangi biaya pengeluaran
untuk transport
Overall Kesan Naik BRT
Dengan harga karcis yang sangat
terjangkau, hanya Rp.4000 dari Ungaran sampai Semarang, yang jarak tempuhnya
bisa 1-2 jam, BRT adalah moda transportasi yang pas buat masyarakat
berpenghasilan rendah, dan mereka yang ingin hidup sedikit hemat. Sebuah
surprise yang menyenangkan ketika dalam perjalan balik ke Ungaran dari
kampus Ivet, saya hanya membayar Rp.1000.
Petugas menjelaskan, bahkan potongan
75% diberikan tidak hanya kepada lansia, melainkan juga untuk mahasiswa,
anak-anak dan bayi. Sungguh itu sebuah generosity
dari Pemkot yang perlu diapresiasi.
Pelayanan cukup memadai. Baik
petugas di halte maupun yang ada di dalam bus sangat friendly dan helpful,
dalam memberi informasi tentang rute bus, menyebut nama halte pemberhentian,
halte tempat transit ke bus lain, untuk jurusan tertentu, ketika keluar masuk
dari bus ke platfom yang tinggi dan ada gap yang cukup lebar.
Perjalanan tempuh dengan kecepatan
normal, 1-2 jam dalam kendaraan yang nyaman, not bad at all. Sangat recommended
buat para pensiunan untuk menikmati jalan-jalan dengan BRT Trans Semarang.
Atau keluarga kecil yang ingin mengajak klinong-klinong anak-anak ke
Semarang-Ungaran dengan budget cekak.
Reference:
Jatengprov.go.id.18 April 2024. Selain
Murah dan Nyaman, BRT Trans Jateng Jadi Cara Kurangi Kemiskinan
https://id.wikipedia.org/wiki/Trans_Semarang#Koridor. Trans Semarang
Wawancara langsung
dengan pengguna BRT, Ibu Dyah
Wawancara langsung
dengan pengguna BRT, Ibu Umi
Hasil dari pengamatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar